capoeiravadiacao.org Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dibuat terkejut saat melakukan kunjungan kerja ke Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Tipe Madya Pabean Tanjung Perak serta Balai Laboratorium Bea dan Cukai Kelas II Surabaya. Dalam kunjungan tersebut, ia menemukan adanya praktik underinvoicing atau pelaporan nilai barang impor yang jauh lebih rendah dari harga sebenarnya.
Dalam salah satu temuan yang menjadi sorotan, barang dengan nilai impor hanya sekitar Rp117 ribu ternyata dijual di platform e-commerce dengan harga mencapai Rp50 juta. Temuan ini dianggap sebagai bukti nyata bahwa praktik manipulasi faktur masih marak dan merugikan negara.
“Saya lihat sendiri, barang yang nilainya hanya seratus ribuan bisa dijual puluhan juta di pasaran. Ini jelas tidak masuk akal,” ujar Purbaya dalam keterangannya. Ia menilai kondisi tersebut bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi juga bentuk kecurangan yang dapat menggerus pendapatan negara.
Apa Itu Praktik Underinvoicing?
Praktik underinvoicing merupakan salah satu modus lama dalam perdagangan internasional. Pelaku dengan sengaja melaporkan harga barang lebih rendah dari nilai sebenarnya agar bisa membayar bea masuk dan pajak impor dalam jumlah kecil.
Misalnya, sebuah barang elektronik bernilai Rp5 juta dilaporkan hanya senilai Rp500 ribu di dokumen impor. Akibatnya, pajak dan bea masuk yang dibayar menjadi jauh lebih kecil dari yang seharusnya.
“Underinvoicing ini bukan hal baru, tapi dampaknya sangat besar bagi penerimaan negara. Jika terus dibiarkan, praktik seperti ini bisa menurunkan kredibilitas sistem perdagangan dan fiskal nasional,” tegas Purbaya.
Selain merugikan negara, tindakan tersebut juga menciptakan ketimpangan pasar. Pelaku usaha jujur yang membayar pajak sesuai aturan menjadi tidak kompetitif karena kalah harga dengan produk impor yang manipulatif.
Pemerintah Siapkan Langkah Tegas
Menanggapi temuan tersebut, Kementerian Keuangan bersama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) akan memperketat sistem pengawasan impor. Salah satu langkah yang disiapkan adalah digitalisasi penuh data transaksi impor serta integrasi sistem e-commerce agar setiap barang yang masuk dapat dilacak nilai dan asalnya secara transparan.
“Kami akan memperkuat sistem pengawasan digital dengan basis data terintegrasi. Semua data faktur, pengiriman, dan penjualan akan dibandingkan secara otomatis,” ujar Purbaya.
Selain itu, pemerintah juga berencana melakukan audit acak terhadap importir yang diduga melakukan praktik underinvoicing. Jika terbukti, pelaku bisa dijatuhi sanksi berupa denda besar hingga pencabutan izin impor.
Peran Bea Cukai dalam Mengawasi Barang Impor
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) menjadi garda terdepan dalam menjaga arus masuk barang ke Indonesia. Melalui Balai Laboratorium Bea dan Cukai (KBLBC), petugas melakukan uji laboratorium untuk memastikan kesesuaian nilai dan klasifikasi barang dengan dokumen yang dilaporkan.
Namun, dalam beberapa kasus, manipulasi harga dilakukan secara halus melalui jaringan perusahaan fiktif di luar negeri. Barang dikirim dengan dokumen harga rendah, sementara pembayaran sebenarnya dilakukan lewat rekening lain.
Untuk mengatasi modus ini, pemerintah berencana memperkuat kerja sama internasional melalui pertukaran data perdagangan lintas negara. “Kami sedang menjalin kerja sama dengan negara mitra agar bisa mengakses data harga riil di negara asal,” ujar salah satu pejabat DJBC.
Dampak Ekonomi dan Moral Pajak
Praktik underinvoicing tidak hanya menyebabkan kerugian fiskal, tetapi juga melemahkan moral pembayaran pajak di masyarakat. Ketika publik melihat adanya celah hukum yang dimanfaatkan oknum, kepercayaan terhadap sistem perpajakan bisa menurun.
“Kalau praktik curang seperti ini terus terjadi, masyarakat jadi ragu untuk taat pajak. Padahal pajak dan bea masuk itu sumber utama pembangunan,” jelas Purbaya.
Selain itu, produk yang diimpor secara tidak wajar sering kali menekan industri lokal. Barang impor yang seharusnya mahal menjadi jauh lebih murah di pasar domestik karena beban pajak yang dimanipulasi. Hal ini membuat produsen dalam negeri kesulitan bersaing dan mengancam keberlangsungan usaha kecil-menengah.
Kolaborasi dengan E-Commerce
Kementerian Keuangan juga akan menggandeng platform e-commerce besar untuk memantau alur penjualan produk impor di Indonesia. Langkah ini diharapkan bisa menutup ruang bagi pedagang nakal yang menjual barang dengan nilai yang tidak wajar.
“Platform e-commerce harus ikut bertanggung jawab. Mereka perlu memastikan semua penjual mencantumkan asal-usul barang dan nilai yang benar,” kata Purbaya.
Ia menambahkan, pemerintah tidak melarang impor, tetapi menuntut agar semua pelaku usaha mematuhi aturan fiskal. “Kita ingin pasar yang sehat, bukan yang dimanipulasi,” tegasnya.
Penutup: Seruan untuk Integritas dan Pengawasan Ketat
Temuan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa di Surabaya menjadi sinyal keras bahwa pemerintah tidak akan menoleransi praktik manipulatif dalam perdagangan internasional. Barang impor murah yang dijual puluhan juta di e-commerce bukan sekadar pelanggaran bisnis, melainkan kejahatan ekonomi yang merugikan negara dan masyarakat.
Pemerintah kini bersiap memperkuat pengawasan digital, audit faktur, dan kerja sama antarinstansi untuk memastikan setiap rupiah pajak masuk ke kas negara secara utuh.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa di tengah kemajuan teknologi dan globalisasi, kejujuran tetap menjadi pilar utama ekonomi bangsa. Purbaya menutup kunjungannya dengan pesan tegas:
“Kalau semua pihak taat aturan, negara akan kuat. Tapi kalau manipulasi dibiarkan, kita sendiri yang akan rugi.”

Cek Juga Artikel Dari Platform kalbarnews.web.id
